Bali memiliki banyak jenis ansambel gamelan, dan jumlah itu terus bertambah seiring dengan perkembangan orang-orang yang menciptakan jenis-jenis alat musik gamelan baru dan memunculkan ide-ide baru untuk kombinasi alat musik. Mengingat kekayaan tradisi gamelan Bali – kekayaan akan berbagai jenis ansambel yang telah berkembang selama lebih dari seribu tahun – sangat tidak mengherankan jika ada beberapa jenis lebih populer daripada yang lain. Ada beberapa, seperti Gong Kebyar dan Baleganjur yang telah mengalahkan banyak ansambel langka dan sakral seperti Gambang dan Selonding. Jenis-jenis gamelan yang lebih populer bahkan bisa dibilang secara tanpa sadar dan tidak langsung telah menyebabkan punahnya sejumlah orkestra gamelan yang saat ini hanya tinggal nama di ingatan orang tua pada jamannya, di buku perpustakaan, artikel etnomusikologi atau di dalam tulisan dan catatan penelitian atau skripsi. Namun, seperti banyak hal yang diklaim punah, selalu ada kemungkinan bahwa ansambel gamelan – seperti tarsius kerdil tersembunyi di hutan awan Sulawesi – mungkin masih ada di desa pegunungan kecil di suatu tempat menunggu untuk ditemukan, diidentifikasi dan dikenali.

Sekitar tahun 2005 saya menemukan sebuah foto dalam buku De Toonkunst van Bali karya Jaap Kunst dari tahun 1924 tentang orkestra gamelan Bali dimana dalam keterangan foto ditulis “Gamelan Sekati dari Bungkulan (Buleleng)”. Instrumentasi yang terlihat di foto dapat diidentifikasikan: gangsa jongkok (dua gangsa jongkok dengan lima atau enam bilah dimainkan oleh anak-anak, sepasang ceng-ceng besar (dipegang dan dimainkan dengan tangan oleh seorang anak), terompong pengarep (terompong berukuran sedang – di sini dimainkan seperti reong oleh empat orang penabuh) dan kendang (dua berukuran besar dan dimainkan dengan pemukul). Foto ini membuat saya berpikir – orkestra seperti ini hilang ke mana? Apakah itu hilang dalam waktu, hanya sisa-sisa gambar di buku lama atau mungkinkah orkestra semacam itu masih ada namun tidak kita sadari?

Sumber foto: De Toonkunst van Bali

Kira-kira di bulan Januari 2017, saya menemukan foto lama online dari orkestra gamelan Bali yang unik yang dipotret di Bali Utara untuk pameran di Belanda. Menurut keterangan atributnya, foto itu diambil pada tahun 1875 oleh Kurkdjian di Soerabaia (Surabaya). Orkestra ini digambarkan sebagai “Gamelan Sekatian” dan memiliki instrumentasi berikut: Dua gong besar, satu kempur gong kecil, dua saron (umumnya dikenal sebagai “gangsa jongkok” di Bali – di sini dengan lima bilah dengan urutan nada 51234) , satu terompong atau reong besar – di sini dimainkan oleh apa yang tampak seperti lima orang dewasa bertubuh kerdil – sebuah pose dramatis, yang mungkin juga pertama kalinya ‘pose’ diperkenalkan pada permainan gamelan, jauh sebelum munculnya Gong Kebyar) dengan jumlah moncol yang tidak dapat diperkirakan jumlahnya, satu baris terompong atau reong yang lebih kecil) dengan jumlah moncol yang kemungkinan berjumlah 10–12 buah, sepasang kendang (mungkin ukuran kerumpungan) sedang, empat pasang ceng-ceng kecil hingga sedang (ditempelkan ke pangkon dan dimainkan oleh dua pemain, dan kemungkinan dua instrumen lain yang tidak terlihat (ada dua pemain yang terhalang oleh pemain atau instrumen lain).

Sumber foto: Google foto

Sebuah orkestra bernama Sekati asli Bali tidak disebutkan dalam literatur manapun selain buku De Toonkunst van Bali. Colin McPhee, yang membuat kajian rinci tentang gamelan di Bali pada tahun 1930-an yang dimuat dalam magnum opus-nya Music in Bali, bahkan tidak menyebut satu jenis ansambel yang disebut Sekati; juga tidak ada peneliti lain sepengetahuan saya, sampai saat ini.

Saya bertanya kepada teman-teman musisi di Buleleng tentang gamelan Sekati atau Sekatian tetapi mereka semua mengatakan bahwa setahu mereka ini adalah gaya permainan bukan jenis orkestra. Contohnya akan serupa dengan ini: Buleleng Video 1Buleleng Video 2, dan Ubud. Saya tunjukkan foto-foto tersebut, tapi mereka bilang orkestra ini sudah tidak ada lagi.

Pada tanggal 30 April 2020, saya menonton Facebook Live yang dilakukan oleh Kadek Pasca Wirsutha sesorang musisi karawitan, dosen dan peneliti dari Banjar Paketan, Buleleng yang menjelaskan tentang gaya permainan Sekatian khas Buleleng. Menurut penjelasannya, gaya ini dimainkan di atas perangkat gamelan Gong Kebyar dan digambarkan sebagai stuktur gending tabuh telu jika dianalisis secara akademis. Sepengetahuannya saat itu, dia belum pernah mendengar keberadaan gamelan Sekati di wilayah di Buleleng, tetapi menurutnya gaya ini kemungkinan pernah dimainkan di atas orkestra lain jaman dulu.

Sampai saat itu saya berasumsi bahwa jenis gamelan ini sudah punah, namun saya masih curiga apabila ada kemungkinan terdapat satu atau dua gamelan yang tidak dimainkan lagi atau jarang digunakan. Jadi, saya memutuskan untuk melakukan penelitian. Saya memeriksa daftar rekaman dari arsip Basel tentang rekaman gamelan yang disimpan saat ini di Fonoteca di Lugano Swiss yang disusun oleh Danker Schaareman dan mencatat bahwa ada sejumlah Sekati yang direkam selama periode awal 1960-an hingga akhir 1980-an. Dari semua daftar yang tercatat dengan judul Sekati, saya hanya pernah mendengarnya langsung gamelan yang disebut Sekati dimainkan pada upacara usaba di desa Bugbug, Karangsem pada tahun 1998: Gong “Sekatian” Bugbug. Pada saat itu, gamelan ini dimainkan secara bersamaan atau bergiliran dengan orkestra Selonding dan ansambel Gambang yang disakralkan di desa itu. Dari hasil pengamatan saya saat itu, ternyata perangkat yang disebut Sekati itu merupakan perangkat gamelanb Gong Kebyar memainkan gaya Sekatian, dengan nada gamelan yang sudah tidak selaras (yang menurut saya, menghasilkan kesan misterius). Gamelan Sekati dan lokasi lain yang disebut dalam daftar rekaman, belum pernah saya dengar atau lihat sebelumnya.

Baru pada Juli 2020 saya bisa mendengarkan rekaman orkestra Sekati yang sempat dibagikan oleh Danker di YouTube, selain juga sejumlah salinan rekaman lainnya dari arsip Basel yang dimilikinya di Jakarta. Dia juga menuliskan deskripsi lengkap kondisi rekaman serta latar belakang tentang rekaman tersebut. Ansambel yang direkam berasal dari Desa Temega di Karangasem. Pelukis Swiss yang menetap lama di Bali pada saat itu bernama Theo Meier membuat rekaman suara pada tahun 1962, yang berisi penjelasan tentang ansambel gamelan Sekati, dan rekaman suara hasil wawancaranya kepada musisi lokal tentang sejarah dan latar belakang mengenai gamelan tersebut serta pengukuran hampir semua perangkat alat musiknya.

Pada rekaman tersebut kita bisa mendengar para informan menyatakan bahwa orkestra disebut adalah ansambel Sekati. Kita juga bisa mendengar sejumlah alat musik, termasuk sepasang saron, satu alat musik jenis reong, dua ceng-ceng kecil dan satu kempur gong. Instrumen reong terdengar sangat tidak selaras dan moncol dalam urutan yang tidak biasa yang mengingatkan saya pada Gong Luang. Selama wawancara, Meier dengan musisi (salah satunya terdengar sudah tua) dan penduduk desa (termasuk perempuan), mereka mengetahui lebih lengkap tentang gamelan ini: ada total sembilan moncol dalam reong yang disebut sebagai terompong dan dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing dengan tiga moncolSaron disebut gangsa ageng (gangsa jongkok besar) dan gangsa alit (gangsa jongkok kecil). Tiap alat musik gangsa memiliki lima bilah dengan urutan sebagai berikut: 51234 (sama seperti yang kita temukan di Gong GedeSemara Pagulingan, Pelegongan dan Bebarongan).

Ketika Meier meminta untuk merekam setiap alat gamelan satu per satu, seorang informan lansia menyanyikan tangga nada sambil memainkan lima nada untuk Meier sebagai berikut: ndang (ndang tinggi), nding, ndong, ndeng, ndung. Namun, saya mendengar nadanya sebagai ndaing (kecuali nada ndang disetel jauh lebih tinggi dari biasanya) nding, ndong, ndeng, ndung. Khususnya, nada ndang pada gangsa alit pada oktaf lebih tinggi, jauh lebih rendah daripada gangsa ageng, jadi bisa jadi pada tahap tertentu disetel sama dengan gangsa yang lebih tinggi.

Menurut pemusik lansia itu, dulu ada dua gong yang besar tapi sudah retak serta ceng-ceng yang juga sudah retak. Informan mengatakan tidak ada kendang di dalamnya.

Gamelan disucikan dan disebut sebagai ‘Betara Telaga Mas’. Meier merekam empat buah gending berjudul Perejangan, Lanang-Wadon, Maoncangan dan satu lagi yang tidak disebutkan namanya.

Sayangnya, rekaman tersebut belum dibagikan untuk umum di YouTube, namun saat mendengarkannya saya sempat mencatat larasnya. Dikarenakan penasaran saya kemudian membuat duplikat laras tersebut dalam bentuk bilah besi dalam kisaran gangsa ageng, berdasarkan kemungkinan bahwa, seperti rekaman lain oleh Meier dari era ini, perputaran pita kaset menyebabkan nadanya (berdasarkan pengukuran nada barat) lebih rendah setengahnya dibandingkan nada orkestra yang aslinya. Ini adalah tautan ke rekaman audio dari hasilnya dan juga permainan sebuah gending berjudul Perejangan: website Mekar Bhuanaa. Gamelan ini memiliki laras yang sangat rendah dibanding sebagian besar gamelan lima nada di Bali jaman sekarang.

Di kemudian hari, pada akhir 1980-an, Danker mendokumentasikan ansambel itu sendiri dan menemukan informasi tambahan: terutama mengenai instrumen yang tidak terpakai dengan bilah bambu yang dapat diasumsikan mirip dengan instrumen caruk yang ditemukan di ansambel Gong LuangCaruk dan Saron, tetapi dengan lima nada. Ia menawarkan untuk membantu desa merenovasi instrumen tetapi penduduk desa mengatakan bahwa karena kesuciannya tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Pada bulan Agustus 2020, seorang pemuda Bali dari Buleleng bernama Putu Yuli Supriyandana membagikan beberapa video tentang gamelan yang sakral dan unik dari kampung halamannya di Pedawa, Buleleng yang disebut sebagai ‘Gamelan Saba’. Menurut penjelasannya, dikarenakan alat musik ini dipakai sebagai pengiring upacara tahunan yang disebut upakara Saba (dikenal sebagai usaba di Karangasem), maka dari itu gamelan ini disebut sebagai ‘Gamelan Saba’. Dari hasil pengamatan saya dari hasil menonton video tersebut, instrumentasi, laras, tangga nada (lima nada) serta gaya permainannya hampir sama dengan gaya permainan di desa Temega. Jadi menurut saya gamelan yang disebut ‘Gamelan Saba’ di desa Pedawa adalah orkestra gamelan Sekati sama sepereti di desa Temega. Di desa Temega, alat musik berupa gangsa jongkok ini disebut sebagai Selonding don lima. Berikut beberapa tautan video musik dan tarian yang diiringi orkestra tersebut: Video 1Video 2 and Video 3

Gamelan Saba Sekati dianggap sangat sakral oleh penduduk desa Pedawa dan hanya dapat digunakan untuk upacara Saba. Tidak seorang pun boleh berlatih dengan instrumen kuno ini, sehingga penduduk desa akhirnya memesan satu set baru yang kadang-kadang digunakan bersama dengan instrumen sakral pada upacara seperti yang kita lihat di video ini: Perangkat Baru Video 1 and Perangkat Baru Video 2.

Berdasarkan sebuah naskah dalam Guntur FM Magazine, orkestra ‘Gamelan Saba’ ini berisi instrumen-instrumen berikut: punggang (bernada ndung dan ndang), penengahreongpenerusgangsa selondinggong besargong kecilbendekempulkendang lanang-wadon dan ceng-ceng. Gangsa jongkok ini memiliki tinggi dan urutan nada yang sama dengan gangsa alit di Temega: 51234. Dalam satu instrumen (seperti reong) ada delapan moncol: secara berurutan (berdasarkan fungsinya) terdapat penengah (tiga moncol), reong (tiga moncol) dan penerus (dua moncol) dimulai dengan nada ndeng. Nampaknya instrumen yang disebut punggang hanya merupakan sebagian dari instrumen penengah, reong dan penerus dengan memainkan hanya moncol nomor dua dan tiga (ndung dan ndang).

Guru yang mengetahui seluruh repertoar telah membuat alat latihan di rumahnya bernama cingklik yang memiliki delapan kayu atau bilah bambu dan dimainkan dengan palu primitif seperti tongkat yang menyerupai palu Selonding dari desa Tenganan di Karangasem. Di video YouTube yang diunggah oleh Komunitas Kayoman Pedawa, gamelan itu disebut “Semar Pegulingan”, tapi belakangan saya tahu bahwa ini hanya nama gendingnya: Cingklik Video 1. Karya tersebut memiliki nama-nama seperti Tabuh Bulung, Glagah Puun, Rejang Sekati, Gamelan Lelemesan, Gamelan Arisan, Semar Pegulingan, Tabuh Keba-kebaan, Tabuh Rejang Renteng, Tabuh Taksu. Desa lain juga memiliki cingklik di rumahnya untuk berlatih. Ini adalah video musisi muda yang bermain: Cingklik Video 2 serta musisi senior lainnya: Cingklik Video 3. Mungkinkah instrumen ini pernah menjadi bagian dari ansambel mereka? Atau mungkin merupakan nenek moyang Sekati dengan bilah dan moncol perunggu? Ataukah hanya sebagai instrumen yang membantu mereka mengingat jalan gending? Pertanyaan ini mungkin tidak benar-benar bisa dipastikan jawabannya.

Ada juga Sekati di desa-desa Bali Aga lainnya di Buleleng: Tigawasa, Cempaga dan Sidatapa. Gamelan Sekati di Desa Tigawasa (di mana juga ada orkestra Selonding dan Gambang sakral) memiliki kesan yang sama dengan Temega dan Pedawa tetapi nadanya lebih tinggi satu nada dibandingkan yang dari Pedawa: Tigawasa. Gamelan Sekati di Desa Cempaga memiliki tangga nada yang mirip dengan Pedawa: Cempaga Video 1 dan Cempaga Video 2. Ada satu perangkat di Desa Sidatapa yang memiliki ketinggian nada yang mirip dengan Pedawa dan Cempaga namun interval nadanya sangat berbeda. Saya belum berhasil memperoleh video gamelannya, hanya penari laki yang kelihatan diiringi dengan suara gamelannya. Dari suaranya bisa didengar ada instrumen berbilah bambu seperti gambang atau carukSidatapa Video 1. Ada kemungkinan juga ada dua Sekati di Sidatapa: Video 2. Salah satu gamelan Sekati dari Sidatapa juga direkam pada tahun 1970-an (oleh Tilman Seebass) tetapi rekamannya belum digitalkan dan berada di pengarsipan di Swiss.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Pande Wayan Tusan (sekarang Sri Mpu Dharmapala Vajrapani) berjudul Selonding – Tinjauan Gamelan Bali Kuna Abad 10–14, kami menemukan dokumentasi gamelan yang unik dari Penida Kelod di Bangli. Gamelan ini sangat disakralkan oleh penduduk desa dan disebut ‘Selonding Pancak Saron’. Instrumentasinya sangat mirip dengan ansambel Temega dan Pedawa. Repertoar atau gaya bermainnya juga bukan yang diasosiasikan dengan Selonding. Berikut video suara permainan dari gamelan duplikatnya saat tampil di Pesta Kesenian Bali: Penida Kelod.

Sejauh ini saya sudah berhasil menemukan data tentang delapan jenis gamelan Sekati di Bali yang terdapat di setidaknya tiga kabupaten (Buleleng, Karangasem dan Bangli), dengan mayoritas di Bali Utara. Ini mengejutkan saya bahwa saya telah menemukan begitu banyak hanya dalam beberapa bulan. Sangat mungkin ada lebih banyak orkestra yang belum teridentifikasi. Desa-desa di Buleleng yang memiliki Sekati sebagian besar merupakan desa Bali Aga (aborigin), sedangkan desa-desa di kabupaten lain hanya desa tua tapi belum tentu Bali Aga. Fakta bahwa baik Selonding maupun Gong Luang memasukkan gending-gending dengan nama Sekati dalam repertoar mereka serta gaya permainan Sekati menunjukkan kekunoan. Kita juga bisa melihat dari ukuran dan bentuk alat musiknya, khususnya terompong yang berasal dari zaman yang lebih kuno dalam sejarah dibandingkan dengan Gong Gede. Alat musik gamelan terompong/reong, gong, dan ceng-ceng sering ditemukan retak dan tidak selaras, dan seluruh orkestra terkadang memiliki gelar kehormatan, seperti halnya orkestra Temega.

Secara sekilas, tampaknya semua orkestra ini mirip dengan Gong Luang. Namun, ada perbedaan utama: pertama, Sekati selalu lima nada, sedangkan Gong Luang tujuh; kedua, gaya bermainnya berbeda; ketiga, repertoarnya sama sekali berbeda dengan musik Gong Luang yang kebanyakan berasal dari musik Gambang; keempat, Sekati sepertinya tidak pernah menggunakan jegogan dan saya hanya menemukan satu set Sekati yang berisi alat musik dari bilah bambu.

Dalam hal instrumentasi, gamelan Sekati memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan orkestra gamelan lain di Bali. Sebuah ansambel berukuran kecil hingga sedang hingga besar, setahu saya Sekati bisa terdiri dari minimal 6 alat musik yang dimainkan oleh 8 musisi atau maksimal 16 alat yang dimainkan oleh 22 musisi. Satu perangkat dapat berisi: 1 terompong besar, 1 terompong kecil, 1 gangsa jongkok sedang, 1 gangsa jongkok kecil, 1–2 kendang sedang atau besar, 2 ceng-ceng sedang, 2 ceng-ceng besar, 1 punggang, 1 bende, 1 kempur, 2 gong besar dan 1 alat musik dengan bilah bambu. Cirikhasnya adalah tangga laras yang selalu berlima nada serta pada umumnya bersisi gangsa jongkok dengan lima atau enam bilah. Selain itu, urutan bilah gangsa jongkok juga penting: yang masih aktif memakai nada ndang tinggi di posisi kiri.

Repertoar Sekati, atau setidaknya gaya permainannya, telah dialihkan ke sejumlah orkestra, termasuk SelondingGambang, Gong KebyarGong Luang dan mungkin Saron. Contoh: Karya Selonding dengan nama Sekati dan gaya permainan di Tenganan: Sekati Panjimarga, Abuang Kare; Gong Luang dari Kaba-Kaba Badung memainkan gending yang disebut Tabuh Sekati; Gambang dari Sibetan terkadang bermain dalam gaya SekatiGambang Sibetan; dan di Buleleng terdapat banyak gending Gong Kebyar / Gong Dewa Yadnya yang dimainkan dalam gaya Sekati yang dikenal dengan sebutan ‘Sekatian’.

Melihat lebih jauh, mungkinkah ada keterkaitan antara gamelan Sekati di Bali dengan yang disebut Sekati atau Sekaten di Jawa? Jika kita melihat gaya di Jawa Tengah (Solo dan Jogja), tidak banyak kesamaannya. Alat musik gamelan di Jawa juga semuanya tujuh nada. Namun, jika kita melihat gamelan Sekati di Cirebon, kita menemukan lebih banyak kesamaan. Keduanya sama-sama memiliki saron berukuran kecil. Penampilan fisik terompong di Sekati Bali sangat mirip: moncolnya mempunyai pencon pendek dan sisi moncolnya pendek: pada umumnya lebih pendek daripada yang ada di ansambel lain di Bali atau di Jawa Tengah. Ada satu baris moncol yang dimainkan oleh 3–4 pemain di kedua ansambel; juga, ceng-ceng dimainkan dengan cara sederhana yang sama dan memiliki dimensi yang sama. Selain itu, secara keseluruhan ketinggian nada serta interval nada lebih dekat ke Cirebon daripada di Jawa Tengah. Kesan suara ketika alat musik terompong di Sekati dipukul sangat mirip dengan suara pendek bonang tua pada gamelan Cirebon – namun bisa juga karena kondisi alat yang sudah kuno/tua.

Gaya permainan dalam seni gamelan Cirebon kuno menunjukkan kemiripan yang luar biasa. Sebagai contoh, Profesor Sumarsam dari Universitas Wesleyan mengatakan bahwa permainan di rekaman Sekati dari Temega sangat mirip dengan gamelan di Cirebon.

Meskipun Sekati di Cirebon mempunyai tujuh nada, orkestra kuno lainnya di Cirebon seperti Renteng dan Denggung, menurut ahli gamelan Cirebon Richard North, mempunyai lima nada: dia menjelaskan secara detail orkestra tersebut pada seminar tentang Gamelan Cirebon, yang merupakan sebagian dari Nusantara Arts Gamelan Masters Lecture Series yang diadakan via Zoom pada September 2020. Setahu saya, orkestra pelog lima nada yang memiliki instrumentasi serupa tidak ditemukan di daerah lain di Jawa. Berikut beberapa video sebagai perbandingan: SekatiRentengDenggung

Mungkin terlalu dini untuk membuat hubungan ini antara Bali dan Cirebon; meskipun demikian, ini adalah teori yang menarik untuk dikemukakan. Namun yang jelas, jika hubungan gamelan Sekati di Bali dengan Cirebon dikaitkan, maka lebih dekat persamaannya daripada di daerah lain di Jawa.

Mengingat repertoarnya yang sederhana, gaya permainannya, instrumentasinya yang sederhana, serta keterkaitannya dengan desa Bali Aga, kemungkinan besar bahwa Sekati adalah jenis orkestra Bali yang sangat kuno. Meskipun sebagian besar ansambel berisi kendangSekati harus dimasukkan dalam kategori gamelan Bali kuno karena memang tidak muncul pada periode selanjutnya (periode kerajaan). Menurut teori saya, gamelan Sekati adalah nenek moyang kuno dari gamelan Gong GedeGong Gede muncul berabad-abad kemudian dengan dukungan pendanaan dari kerajaan. Hal ini menjelaskan mengapa Sekati juga mengiringi tarian adat kuno seperti Rejang dan Baris yang tidak dikoreografikan seperti pada masa munculnya Gong GedeSekati bisa saja menginspirasi Semara Pagulingan Saih Lima atau Gong Cenik (yang hanya ditemukan di Buleleng dan merupakan orkestra lima nada dengan urutan bilah 51234 pada gangsa jongkok).

Yang pasti, berdasarkan penelitian saya selama beberapa bulan terakhir, gamelan Bali yang bernama Sekati bukan lagi misteri dan sudah pasti masih ada, meski hanya ditemukan di wilayah-wilayah desa sebagian besar di Bali utara, timur dan tengah.

Setahu saya, gamelan Sekati belum banyak didokumentasikan atau diteliti di Bali, begitu pula hubungannya dengan bentuk seni gamelan kuno dari jaman tua ataupun kerajaan, baik di Bali maupun di Jawa. Ini tentu merupakan bentuk kesenian yang unik, pernah dianggap punah dan perlu dimasukkan ke dalam kategori gamelan Bali golongan tua. Saya berharap artikel singkat ini dapat mendorong para peneliti – khususnya pemuda Bali yang tertarik dengan gamelan dan sejarah musik – dan juga pemerintah untuk menggali lebih dalam lagi akar dari bentuk seni yang unik ini dan mungkin mengumpulkan teka-teki bagian-bagian musik yang saat ini telah bertebaran jauh dan luas.

Tambahan:

Kekuatan media sosial! Setelah artikel ini terbit pada 29 September 2020, saya mendapat informasi tentang dua orkestra jenis Sekati lagi yang yang masih eksis dan hanya digunakan pada kesempatan langka dalam upacara tertentu.

Di Desa Selat, Buleleng terdapat ansambel yang sangat pas dengan instrumentasi Sekati dengan dua gangsa jongkok berbilah lima, satu kempul, sepasang ceng-ceng, satu petuk, satu reong dan satu kendang. Dulu ada satu gong besar dalam orkestra, namun hilang selama penjajahan Belanda (1906 – 1945). Orkestra disebut sebagai ‘Gong due Raja‘ (orkestra milik raja) dan musisi yang memainkannya harus dari garis keturunan dan disucikan sebelum belajar. Menurut informan saya, Gede Arya dari Desa Anturan, instrumen tersebut dianggap sangat sakral dan disimpan di dalam gedong (bangunan untuk benda suci) di Pura Desa dan hanya digunakan untuk upacara odalan di Desa Selat. Gending pertama dimainkan pada upacara oleh orkestra dengan gaya ‘lelonggoran’. Foto atau video orkestra ini belum dapat diambil dikarenakan belum saatnya diadakan upacara di desa ini.

Pembaruan pada 18.10.20: baru saja saya menerima video pendek perangkat gamelan ini melalui Whatsapp. Meskipun saya tidak dapat mempublikasikannya, saya menemukan beberapa hal: penyetelannya sangat mirip dengan Sekati dari Pedawa, sedikit lebih rendah. Gangsa jongkok memiliki kuncinya dalam urutan yang lebih modern yaitu 12345. Reong asli sangat retak sehingga harus diganti – moncol baru berdimensi modern dan tidak terlihat seperti moncol Sekati asli yang lebih kecil, lebih pendek dan putingnya pendek pada mereka. Gaya permainannya agak berbeda dengan Sekati yang lain.

Desa Sanda di Pupuan, Tabanan juga memiliki orkestra kuno yang sepertinya adalah Sekati. Menurut informan saya, I Wayan Agus Suryawan (Jro Mangku Gede), gamelan itu dianggap sangat sakral dan terdiri dua gangsa jongkok berbilah lima, satu riong dengan 11 moncol, satu kempur, satu gong 70–75 cm, ceng-ceng kecil tanpa tatakan, satu kendang dengan panggul, dan bendeBende tersebut dianggap sebagai pelindung dan instrumen paling sakral dalam perangkat gamelannya.

Bilah-bilah Gangsa Jongkok – Foto milik I Wayan Agus Suryawan

Riong – Foto milik I Wayan Agus Suryawan

Ia mengatakan bahwa larasnya bukan pelog atau selendro, melainkan di suatu tempat di antaranya yang ia gambarkan sebagai “bebeg”. Orkestra ini milik pura dan hanya digunakan untuk upacara-upacara tertentu di pura yang disebut aci. Gending yang dimainkan kebanyakan bergaya sekatian dengan teknik yang disebutnya “nyolcol”.

Jadi sekarang kemungkinan besar Sekati sudah ditemukan setidaknya di empat kabupaten di Bali, artinya penyebarannya lebih luas dari perkiraan semula. Tahukah Anda tentang gamelan jenis Sekati di tempat lain di Bali, mungkin di desa Anda sendiri? Jika ya, kirimkan saya pesan di [email protected], melalui Facebook Messenger (https://www.facebook.com/vaughan.hatch/) atau Instagram (@wayanpon_mekarbhuana).

Copyright © Vaughan Hatch 2020